Jakarta, (wartalogistik.com) -- Penggunaan bahan bakar bakar low sulfur bagi setiap kapal yang beroperasi di perairan Indonesia, baik itu kapal berbendera Indonesia maupun asing akan mendorong terjadnya kenaikan biaya logistik sebesar 10-20 Persen
Perkiraan itu disampaikan oleh Sugi Purnoto, Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI). Menurutnya kenaikan biaya (surcharge) yang diberlakukan oleh para forwarder terkait dengan adanya kenaikan biaya ongkos angkutan laut yang disebabkan adanya perubahan penggunaan bahan bakar, menjadi bahan bakar kapal low sulfur.
" Implikasi dari kebijakan perubahan penggunaan bahan adalah kenaikan tarif angkut kapal yang dibebankan pada forwarder sehingga terjadi kenaikan harga bagi para pemilik barang selaku customer," katanya dalam siaran pers SCI, Senin (13/1)
Perubahan penggunaan bahan low sulfur tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. 35 Tahun 2019 tanggal 18 Oktober 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang Tidak Memenuhi Persyaratan serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal.
Saat ini, kapal-kapal di Indonesia masih menggunakan bahan bakar dengan kadar sulfur sebesar 3,5%.
Berdasarkan regulasi International Maritime Organization (IMO) 2020 yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2020 tersebut, pemerintah mewajibkan kapal-kapal Indonesia menggunakan bahan bakar dengan kadar sulfur maksimal sebesar 0,5% yang bertujuan untuk mengurangi tingkat polusi udara.
Menurut Sugi Purnoto, kenaikan biaya (surcharge) yang diberlakukan oleh para forwarder dengan adanya kebijakan tersebut mencapai 10-20%.
Menurutnya, hal itu akan memberatkan para customer dan turut berdampak pada biaya logistik Indonesia, sehingga berpotensi menurunkan daya saing produk dan komoditas nasional, serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai konsumen akhir.
Lebih jauh dijelaskan, berdasarkan analisis SCI, perusahaan-perusahaan freight forwarder sudah memberlakukan tarif baru pengiriman peti kemas. Sebagai contoh, untuk jarak kurang dari 400 mil laut, tambahan biaya yang diberlakukan oleh salah satu perusahaan freight forwarder yaitu sekitar Rp 400 ribu per kontainer.
Besaran low sulfur surcharge dapat dilihat pula berdasarkan rute. Misalnya untuk rute Banjarmasin, Sampit, Kumai, Lembar Lombok, dan Benoa Bali, untuk dry container berukuran 20 kaki dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 600 ribu per kontainer, sedangkan untuk rute Bitung, Ambon, Gorontalo, Luwuk/Tangkiang, Belawan Medan, Padang, serta Kuala Tanjung sebesar Rp 1,4 juta per kontainer.
Menurutnya, permasalahan yang terjadi di antaranya adalah tidak ada transparansi dan negosiasi dari pelayaran, serta belum ada penjelasan mengenai selisih harga yang diberlakukan oleh perusahaan forwarder terkait penerapan kebijakan tersebut.
Selain itu, tambahnya, belum ada peraturan yang jelas dari Kemenhub khususnya Ditjen Perhubungan Laut mengenai cakupan yang termasuk dalam kategori bahan bakar low sulfur ini yang berpotensi mengakibatkan biaya tambahan sebesar 10-20%.
"SCI merekomendasikan sosialisasi dan pembahasan semua stakeholder sehingga dapat terjadi kesepakatan penentuan tarif pengangkutan terkait dengan kebijakan IMO 2020. Perusahaan forwarder juga perlu mensosialisasikan faktor-faktor yang mendasari penetapan biaya tambahan, jika sebelumnya kapal-kapal tersebut sudah menggunakan bahan bakar jenis Marine Fuel Oil (MFO) 180 CST dan High Speed Diesel (HSD) B30," ungkap Sugi Purnoto.
Abu Bakar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar