Jakarta
(wartalogistik.com) – Atas undangan dari Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi
Utara, DPD Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) Provinsi Sulawesi Utara mengikuti
kunjungan kerja Komisi IX DPR ke Provinsi Sulawesi Utara, pada Selasa 18
September 2018.
Dari pihak DPD PPI mengutus Herson
W. Palatangara, Christianto Dohanis, Nirna Massa dan Robeert Pilipus Rumu untuk menghadiri pertemuan dengan wakil rakyat itu.
Pada pertemuan yang
berlangsung di Ruang WOC Kantor Gubernur Sulawesi Utara itu
pihak DPP PPI melalui DPD PPI memberikan masukan. Adapun masukan yang
disampaikan itu meliputi :
❖
Meminta kepada Pemerintah dan DPR untuk melibatkan peranan serikat pekerja/
serikat buruh “pelaut” sebagai mitra tripartit dalam pengambilan keputusan
ketenagakerjaan di bidang kepelautan sebagaimana ketentuan Undang Undang Nomor
21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Salah
satunya tentang perumumsan peraturan pemerintah tentang penempatan dan
pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sebagaimana ketentuan pasal 64
UU PPMI yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dan pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c diatur dengan
Peraturan Pemerintah” Pasal 4 ayat (1)
huruf c menyatakan “Pekerja Migran Indonesia meliputi : c. Pelaut awak kapal
dan pelaut perikanan”.
❖
Meminta adanya
kejelasan mengenai
kementerian/instansi/badan/lembaga pemerintah mana yang berwenang penuh terkait
penerbitan izin bagi perusahaan perekrutan dan penempatan pelaut Indonesia, baik pelaut yang bekerja pada kapal niaga
maupun pelaut yang bekerja di kapal penagkap ikan di kapal berbendera asing di
luar negeri. Karena sampai saat ini telah terjadi dualisme
izin, dimana berdasarkan UU PPMI izin tersebut di bawah Kementerian
Ketenagakerjaan, disatu sisi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun
2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal yang mana izin perusahaan diterbitkan oleh Kementerian
Perhubungan.
Hal ini jelas membuat pihak pengusaha menjadi
kebingungan untuk mengurus izin mana yang perlu mereka miliki, yang akhirnya
perusahaan tidak memiliki keduanya dan/ atau salah satunya, yang mengakibatkan
jika terjadi permasalahan akan sulit untuk meminta pertanggungjawaban pihak
pengusaha jika perusahaannya tidak memiliki izin yang jelas dan resmi dari
pemerintah. Misalnya
jika ada masalah kemudian perusahaan kabur, tutup, ganti nama atau hal-hal
lainnya yang tidak terduga.
❖
Mewajibkan kepada perusahaan-perusahaan perekrutan dan penempatan pelaut untuk mengikutsertakan
dalam program kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan serta mempermudah birokrasi
kepengurusannya. Hal tersebut sangat perlu dilakukan mengingat banyak pelaut
dan pelaut perikanan asal Indonesia yang meninggal di luar negeri pihak
keluarga atau ahli waris tidak mendapatkan hak-hak santunan atau asuransi
kematiannya.
❖
KBRI/KJRI/KDEI secara berkala melakukan kunjungan ke kapal-kapal di luar negeri
pada saat sandar di pelabuhan-pelabuhan terdekat, yang terdapat pelaut dan
pelaut perikanan asal Indonesia untuk mengetahui secara jelas perlindungan
kerja mereka meliputi aspek kesejahteraan, kesehatan kerja, dan keselamatan
kerja. Menginformasikan secara rutin melalui website
resminya tentang agen-agen atau perusahaan-perusahaan pemilik kapal yang nakal
atau tidak resmi di luar negeri, untuk meminimalisir terjadinya kasus-kasus
penipuan job, penelantaran, gaji tidak dibayar (perbudakan), hingga kepada
tindak pidaana perdagangan manusia.
❖
Adanya pejabat yang mengetahui dan berwenang untuk mengecek keabsahan
sertifikat pelaut yang akan bekerja di luar negeri di bandara-bandara
bekerjasama dengan petugas imigrasi guna meminimalisir peredaran dan penggunaan
sertifikat pelaut palsu. Hal tersebut penting dilakukan agar profesionalisme
dan gaji pelaut Indonesia di luar negeri tidak murah.
(Abu Bakar)
Mantappp...
BalasHapusBravo PPI....