Jakarta (wartalogistik.com) – DPP Pergerakan Pelaut Indonesia
(PPI), berharap pihak Kantor KSOP (Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan) di
pelabuhan niaga maupun di pelabuhan perikanan mengarahkan kepada pihak-pihak
yang akan melakukan kesepakatan perjanjian kerja pelaut (PKL) untuk membuat
kesepakatan pengupahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Misalnya jika suatu daerah standar upah minimunya mencapai
Rp 2,400.000, jangan sampai PKL yang dibuat
upahnya Rp.300.000 atau Rp 500.000, keadaan ini tentunya sangat tidak
manusia, meskipun pihak yang bersepakat menerimanya,” ungkap Ketua Advokasi,
Hukum dan HAM DPP Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), Imam Syafi’i, di kantornya,
Jakarta Utara, Senin (28/8).
Untuk itu, tambah Imam Syafi’i pihak syahbandar yang mewakili pemerintah di
pelabuhan mengarahkan agar pihak yang akan bersepakat itu mengikuti ketentuan
regulasi perundang-undangan ketenagakerjaan, atau jika masih belum mampu sesuai
standar nilai upah daerah yang berlaku, jangan sampai terlalu minim sehingga
bisa dianggap tidak manusiawi.
“Ironisnya sudah sangat kecil dan berkesan tidak manusiawi,
masih ada juga upah pelaut yang tidak dibayarkan. Ini yang kami temui selama
ini,” kata Syafi’i.
Untuk itu, tambahnya, saat ini PPI mengimbau kepada
pemerintah agar menerbitkan regulasi teknis tentang pengupahan bagi tenaga
kerja pelaut Indonesia yang bekerja di dalam negeri. Hal itu terkait dengan
ketentuan pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang
Kepelautan yang menyebutkan, Upah minimum bagi awak kapal dengan jabatan
terendah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan, berdasarkan ketentuan upah minimum tenaga kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Diakuinya selama ini dari kasus yang ditangani PPI berawal karena
pihak perusahaan yang mempekerjakan pelaut menurunkan pelautnya secara sepihak.
Setelah pihak PPI melakukan advokasi (pembelaan) maka diketahui terjadi
pelanggaran dalam pembuatan PKL.
“Kami berharap pihak syahbandar mendorong terciptanya PKL
yang sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Jangan
menandatangani upah yang tertera di PKL yang tidak sesuai standar atau tidak
manusiawi pada pelaut,” tegas Imam Syafi’i.
Sebagai catatan data di DPP Pergerakan Pelaut Indonesia
(PPI), sejak tahun 2016 sampai sekarang terdapat sekitar 500 kasus yang
ditangani, sebagian besar karena diturunkan oleh perusahaan pelayaran secara
sepihak, tanpa ada kompensasi. Saat ini dari kasus yang ditangani 370 kasus
sudah diselesaikan dengan posisi pelautnya menerima hak-hak nya sesuai dengan
ketentuan ketenagakerjaan, sisa kasus tersebut masih dalam proses penyelesaian. (Abu Bakar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar