Jakarta (wartalogistik.com) - Rencana pembuatan Kode Etik Pelaut yang tahun
lalu diinisiasi Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat Jenderal
Perhubungan, Kementerian Perhubungan masih belum ditetapkan perwakilan
(asosiasi) pelaut. Bahkan, DPP Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) menolak menanadatangani pernyataan persetujuan atas rancangan kode etik tersebut. Ini alasanya.
Pada saat pembahasan rancangan
kode etik itu, pihak DPP PPI termasuk yang
terlibat dan intens dalam mengusulkan rancangan pasal-pasal. Sampai pembahasan
memasuki tahap akhir dan rancangan dinyatakan sudah lengkap, PPI masih
mengikutinya.
Ketua Umum DPP Pergerakan Pelaut
Indonesia, Andri Yani Sanusi yang ditemui di kantornya, Jakarta Utara, Rabu
(12/2) menyatakan sudah mengajukan penolakan untuk menyetujui rancangan Kode Etik Pelaut
karena ada berbagai sebab. Pertama, ketika pembahasan memasuki tahap finalisasi
ia meminta agar berikutnya ada pembahasan tentang upah sektoral pelaut.
Namun setelah beberapa waktu ditunggu kegiatan itu urung dilaksanakan. Kedua, akan ada rencana untuk membentuk Dewan
Kehormatan Pelaut dengan mengarahkan pada satu perkumpulan pelaut. Ketiga akan
membentuk perkumpulan baru buat pelaut.
“Saat kami ikut dalam pembahasan
Kode Etik Pelaut, kami berharap nantinya
juga akan merancang ketentuan-ketentuan untuk
ditetapkan sebagai regulasi tentang upah
sektoral bagi pelaut,” kata Andri Yani.
Namun dalam perjalanannya hal itu
tidak terjadi, tambahnya, sehingga kami melihat Kode Etik Pelaut akan lebih
memberatkan pelaut, padahal selama ini pelaut masih dalam keadaan
memprihatinkan bahkan tertindas dari
sisi pengupahan.
“Jadi tegas-tegas kami menolak
untuk menandatangani persetujuan atas draf yang sudah disusun untuk jadi Kode Etik Pelaut,”
tegasnya.
Atas ketegasannya itu, Andre Yani
menyatakan, PPI adalah perkumpulan pelaut dan selama ini mengurus pelaut yang
sedang menghadapi masalah dengan pengusaha yang mempekerjakannya, baik di dalam
dan luar negeri. Untuk menyelesaikan masalah pelaut sudah dilalui sesuai dengan
regulasi ketenagakerjaan mulai dari musyawarah sampai pengadilan. Sebagian
besar jika tidak mau ditakan masalah pelaut seluruhnya terkait dengan pengupahan.
“Nah jika kesejahteraan pelaut
belum bisa ditingkatkan, ketentuan pengupahan pelaut juga tidak jelas. Mengapa
kami harus ikut menetapkan kewajiban-kewajibannya ( tertuang dalam kode etik) pelaut
yang lebih memberatkannya, ” kata Andri Yani.
Soal Dewan Kehormatan Pelaut,
tambah Andri Yani Sanusi, pemerintah mengarahkan dengan meminta kami menandatangani
kesepakatan pada satu perkumpulan untuk membentuk dewan itu. Kenapa pemerintah
yang mengarahkan. Biarkan profesi pelaut itu sendiri yang membentuk, pemerintah
bisa menginisiasi kembali.
“Kenapa untuk membentuk dewan
harus melalui satu perkumpulan tertentu saja,“ tambah Andri Yani.
Dikatakan juga, sejarah sudah
membuktikan dimana ketika pemerintah masuk dalam soal asosiasi profesi pelaut,
kegiatan asosiasi menjadi tidak independen, minim memperjuangkan pelaut bahkan
sampai saat ini pengupahan pelaut masih belum tertata.
Dikatakan juga jika PPI saat ini
anggota semakin besar, masalah yang diurus semakin banyak itu berpulang pada
pengakuan pelaut.
“Jadi sebaiknya pemerintah (Ditjen
Hubla) tetap masuk sebagai regulator soal kompetensi pelaut. Mengenai asosiasi
profesi pelaut silahkan lihat asosiasi pelaut yang ada, lihat pemenuhan
persyaratan sebagai asosiasi, jumlah anggotanya dan kegiatan yang
diperjuangkannya,” ungkapnya.
(Abu Bakar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar