Jakarta (wartalogistik.com) – Gegara
perusahaan hengkang dari Kawasan Berikat Nuasantara (KBN) Cakung, Jakarta
Utara, ribuan kos-kosan milik warga sekitar kawasan berikat itu kosong. Keadaan
itu membuat pemilik kos dan rumah kontrakan yang berada di Kelurahan Sukapura,
Cilincing, Jakarta Utara kesulitan membiayai pengurusan rumah dan berharap pemerintah daerah dan pusat bisa
menciptakan iklim usaha di kawasan itu lagi.
Keadaan hunian kos yang kosong itu
sudah berlangsung 3 tahun terakhir ini. Bila awalnya pada 1986 di kawasan KBN
Cakung, menampung sekitar 84.000 pekerja industri garmen, maka hanya tertinggal
kurang dari 10% (sepuluh persen).
"Kami sudah mengirimkaaan surat ke
pemerintah provinsi Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta, agar dapat segera menanggulangi kondisi sebagai akibat
Pemutusan Hubungan Kerja dan hengkangnya perusahaan industri garmen di KBN
Cakung," ujar H. Gubar, tokoh panguyban rumah kontrakan Sukapura.
Menurut Gubar, pada awal tahun 1986 banyak
perusahaan pembuat pakaian jadi (garmen) yg beroperasi untuk keperluan ekspor,
dan mampu memperkerjakan hingga 84.000 orang, kini hanya tinggal 3 pabrik saja.
"Bisa dibayangkan, bagaimana
kampung Sukapura yang meraih kejayaan sampai
tiga tahun lalu pada usaha kamar kontrakan, kini tinggal
kenangan,"ujarnya.
Dua tahun terakhir ini, keadaan
semakin sulit bagi pemilik kontrakan, lanjutnya, pemilik kontrakan yang umumnya
warga Sukapura menggantungkan usaha sektor ini, tidak mampu membayar tagihan
listrik, apalagi merawat rumahnya. Belum lagi, konsekwensi direpotkan tagihan
angsuran bank.
"Kami berharap gubernur segera
mencari jalan keluar, untuk memicu agar pabrik garmen dihidupkan lagi. Meski
saat ini, kami melihat KBN Cakung berubah menjadi kawasan penumpukan peti
kemas",ujarnya.
Menurut Gubar, dulu kejayaan Sukapura,
identik dengan kemacetan. Sekarang, Jalan Tipar - Cakung, lancar aman, tapi
rakyatnya lapar. Tidak ada lagi
pemandangan khas, pedagang nasi uduk, pedagang buah, jamu gendong, pedagang kaki lima, bahkan
tukang kredit.
"Yang bakal ada, usaha sarang
walet. Tapi yang pasti sarang nyamuk," ujarnya.
Roffan Zah, Kepala Seksi Hubungan Masyarakat
(Humas) PT (Persero) KBN Cakung, menyatakan data terakhir sampai September 2018, jumlah perusahaan yg
tercatat di kawasan ini sebanyak 71 perusahaan manfactur (pabrik pengolahan) yg
menampung tenaga kerja 500 -1000 pekerja.
"Kami tidak dapat merinci masing-masing
besaran tenaga kerja yang ada di perusahaan. Sebatas regulator, penyedia jasa
properti," ujarnya.
Ia didampingi bagian pemasaran,
lanjutnya menyebut untuk usaha non manufacture tercatat 80 perusahaan. Usaha
ini minim tenaga kerja, namun memerlukan area kerja lokasi yang luas dan difasilitasi
tehnogi tinggi. Sudah tentu memperkerjakan tenaga handal yang memiliki
ketranpilan khusus.
Menurut Roffan, hampir setiap minggu, ada saja
kunjungan pengusaha yang ingin melakukan kegiatan diusaha indutri padat karya,garmen,
tapi belum juga ada realisasi, terutama dari Taiwan, Cina.
"Tidak dipungkiri, hambatan besaran upah,
dan isyu protes di era demokrasi tuntutan buruh sangat mempengaruhi minat
merek," ujarnya.
Secara persuasif, lanjutnya, kami
melakukan pendekatan kepada wakil buruh untuk mengambil tindakan lebih arif
dalam menuntut kesejahteraan. Implikasinya, pengusaha lebih memilih
memindahkan usahanya ke daerah laiin. Bulan ini beroperasi di sini, bulan
depan, diam-diam terdengar sudah ada di Kendal.
Saat ini pemerintah DKI Jakarta,
hanya memiliki 25,85% saham di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pusat
73,15% melalui keputusan Presiden Joko
Widodo, tahun 2015.
Koreksi Data
Menanggapi data yang dikemukakan KBN Cakung,
bahwa masih beroperasi 71 pabrik dengan jumlah pekerja yang masih bisa menghidupi
lingkungan sekitarnya, Ramli Haji Muhammad, anggota legislatif DPRD DKI
Jakarta, mempertanyakan kebenaran data tersebut.
"Artinya, dengan asumsi terkecil,
satu perusahan menampung 500 buruh, kita bisa lihat secara kasat mata, pekerja
yang lalu lalang di saat datang dan pulang, pasti menyemut di jalalanan , ini
kok sepi. Mainan apa lagi nih," ujarnya.
Ramli, pendiri koperasi wahana
kalpika yang bergerak diangkutan perkotaan, mengakui keluhahan dan kesulitan anggotanya
di trayek yang tadinya gemuk, sekarang mengejar setoran harian sajs tidak
cukup.
"Pendekatan para buruh , agar
tidak turun kejalan mengemukakan aspirasi kesejahteraan, harus lebih arif. Mata
rantai yang di timbulkan , berdampak pada semua sektor. Yang susah, rakyat
juga," ujarnya.
Fakta di lapangan , lanjut Ramli,
perusahaan BUMN itu tidak lagi konsen pada indutri padat karya sesuatu hal yang
bisa diterimah. Hanya saja , sebagai perusahaan negara, maka patut
memberdayakan membela kepentingan rakyat banyak.
"Harus ada solusi, secara khusus
pada perusahaan yang menghimpun tenaga padat karya, diberikan insentif, baik
berupa keringanan sewa gudang, atau ada insentif disektor tertentu Memang tidak
mudah, tapi kami nanti usulkan," ujarnya.
Diharapkan Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan , segera menanggapi kesulitan dan segera mencari solusinya. Tentu saja
pemerintah pusat sebagai pemegang saham terbesar mau mendengar kesulitan ini.
(Abu Bakar/Tavip Mohone)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar