oleh : Boris Tampubolon, S.H*
Hanya saja muncul kekhawatiran jangan sampai kemewahan/uang itu dijadikan tujuan seseorang untuk menekuni profesi advokat ini sehingga menghalalkan segala cara demi uang dan lupa akan tujuan dan perjuangan advokat sebagai profesi mulia (officium nobile).
Kenapa Advokat Disebut Profesi Mulia (Officium Nobile)?
Advokat disebut sebagai profesi yang mulia (officium nobile). Sebutan ini tidak datang dan melekat dengan sendirinya pada advokat. Namun dilatarbelakangi sejarah panjang yang penuh pengabdian kepada masyarakat.
Pada awalnya di zaman Romawi, para bangsawanlah yang tampil dengan orasi dan pledoinya membela orang-orang miskin dan buta hukum yang terkena masalah hukum. Waktu itu belum ada istilah advokat, dan mereka ini disebut preator. Para preator ini adalah kaum bangsawan yang sebenarnya punya status sosial yang tinggi namun menaruh hatinya pada rakyat kecil.
Mereka membela semata-mata karena panggilan nurani dan rasa tanggung jawab membela orang yang lemah di hadapan penguasa/kekuasaan. Oleh karena itulah profesi advokat yang awalnya bernama preator ini amat dihargai, dan dimuliakan orang sehingga dinamakan officium nobilium atau profesi yang mulia.
Seiring berjalannya waktu, advokat menjadi suatu profesi sekaligus mata pencaharian yang memberikan jasa-jasa hukum kepada pencari keadilan atau klien dengan menerima imbalan jasa (legal fee) atau honorarium. Honorarium yang diterima bukan berarti advokat melakukan jual beli atau dagang perkara, melainkan dia diberi honorarium (dari kata honor yang berarti kehormatan) sebagai penghormatan atas jasa-jasa hukum yang ia berikan secara profesional dan terhromat.
Dua Jenis Advokat?
Salah satu tokoh advokat yang saya kagumi, Alm. Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution, dalam buku “Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Advokat” (2007: hal.121) menyatakan ada dua jenis advokat: Pertama, advokat berhati nurani, yang berorientasi pada nilai-nilai luhur advokasi, yang officum nobile. Kedua, advokat yang bertujuan menjadikan hukum sebagai alat komoditi mencari uang, orientasinya komersial. Keduanya itu berbeda sekali antara bumi dan langit.
Menurutnya, advokat yang berhati nurani, bahkan yang sudah berprofesi lebih dari 20 tahun pun akan tetap menjalankan profesinya dengan menjaga keluhuran dan kehormatan profesi. Dia masih akan memberikan waktu dan tenaganya untuk rakyat miskin, buta hukum dan teraniaya.
Sebab dari sejak belia, di dalam dirinya sudah tertanam komitmen pada kewajiban luhur membela tanpa pandang bulu, agama, keturunan dan segala macamnya. Sedangkan advokat yang orientisinya uang, hanya akan menjadikan uang dan kekayaan sebagai tujuan.
Itulah bedanya advokat yang sejak belia sudah ditanamkan dalam dirinya idealisme terhadap profesi advokat dibandingkan mereka yang tidak pernah mendapat gemblengan yang semestinya, tidak mendapat kesempatan magang kepada advokat senior yang benar tapi langsung main coba-coba berpraktik sebagai advokat.
Advokat Adalah Pejuang
Menurut Adnan Buyung Nasution (2007: hal.23), advokat adalah pejuang. Ada lima dimensi perjuangan kita sebagai advokat yaitu: Pertama, kemanusiaan.Dalam membela kliennya, advokat Indonesia harus tetap bersandarkan kepada rasa kemanusiaan, sekalipun ia menerima imbalan berupa legal fee atau honorarium dalam memberikan jasa-jasa hukumya tapi nilai kemanusiaan seyogiannya menjadi prinsip dasar seorang advokat dalam membela kliennya.
Sebab hal ini bukan saja sesuai dengan sejarah dari tradisi advokat tetapi juga manifestasi dari keluhuran profesi itu sendiri. Jika aspek kemanusiaan ini dilupakan, maka advokat akan kehilangan rohnya dalam mencari keadilan ataupun kebenaran sejati. Sebab ia hanya akan tenggelam atau dibawa arus mencari kekayaan atau harta semata.
Akibatnya, advokat semacam ini akan kehilangan keberanian moril sebagai pejuang hukum dalam menghadapi lawan yang kuat, berkuasa atau berduit. Dia akan mudah goyah, bahkan dibeli ataupun dipatahkan oleh kekuatan dan kekuasaan lawan, bahkan tak mustahil mengkhinati kliennya.
Kedua,pertanggungjawaban moral. Ada dua hal yang harus senantiasa dipertimbangkan dalam membela klien. Pertama, dasar hukum dari perkara yang dihadapi. Kedua, dasar moral dan etika dari perkara yang ditanganinya.
Dasar hukum berarti, dalam membela klien dan memperjuangkan hak-haknya harus ada dasar hukumnya, bukan mengada-ada atau mencari-cari alasan/dalih yang tidak ada dasar hukumnya sama sekali. Di sini dituntut dan dipertaruhkan kejujuran, objektivitas dan kehormatan profesi advokat yang dijalankannya.
Dasar moral dan etika berarti bahwa orang atau pencari keadilan yang dibelanya memang patut atau layak dibela dan diurus perkaranya, dilihat dari sudut moral yang berlaku secara umum maupun etika profesi. Sehingga, hak-hak atau kepentingan hukum dari orang yang dibelanya itu tidak bertentangan dengan moralitas umum ataupun etika profesi yang harus dijunjung tinggi.
Jika terjadi pertentangan antara kepentingan hukum klien dan kepentingan menjaga nilai-nilai moral dan etika, maka advokat harus mengambil sikap dan memiliki pilihan yang tegas untuk menerima ataupun menolak menjadi pembelanya.
Menurut Bang Buyung, dalam menangani setiap perkara advokat Indonesia harus menggunakan ilmu pengetahuan hukumnya serta melihat dengan jernih berbagai aspek dan dimensi kepentingan yang dihadapinya dengan senantiasa mempertanyakan hati nuraninya, apakah perkara yang dibelanya dapat dipertanggung jawabkan dari sudut kemanusiaan; apakah ada dasar hukum dari hak dan kepentingan hukum klien yang dibela; maupun moral etika yang hidup di masyarakat luas?
Hati nurani itulah pada akhirnya yang menentukan dan hal itu sekaligus menjadi ukuran masyarakat dalam menilai sikap dan tindakan advokat yang bersangkutan, apakah memiliki integritas atau tidak.
Ketiga, memperjuangkan tegaknya profesi advokat yang mandiri, bebas, dan independen dari intervensi kekuasaan dalam membela klien atau para pencari keadilan.Advokat Indonesia menyadari bahwa hanya dengan profesi yang bebas (free legal profession) para advokat akan bisa menjalankan profesinya dengan baik sesuai dengan kode etiknya dalam memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Hal tersebut juga harus didukung dengan adanya organisasi profesi yang kuat yang memiliki kode etik dan mampu membina serta menjaga disiplin anggota-anggotanya.Organisasi advokat yang kuat ini sekaligus akan membangun kekuatan civil society, di mana kaum profesional merupakan bagian dari masyarakat demokratis yang egaliter.
Keempat, membangun negara hukum (rechstaat). Advokat Indonesia harus menyadari bahwa profesi advokat hanya bisa berfungsi dengan baik jika proses penegakan hukum atau the due proces of law dan fair trial bisa ditegakkan. Tegasnya, advokat sebagai pemberi jasa hukum baru berfungsi dan bermakna bagi masyarakat jika profesi advokat itu sendiri mampu berperan di dalam menjalankan tegaknya proses hukum dan peradilan yang jujur, objektif dan adil.
Dengan kata lain, advokat berkepentingan demi profesi hukumnya maupun kepentingan klien yang dibelanya untuk senantiasa memperjuangkan tegaknya negara hukum (rule of law), peradilan yang bebas dan tidak memihak (independence of judicary) serta proses hukum yang benar dan adil (the due proccess of law). Sebab semua prinsip-prinsip dan nilai-nilai itu merupakan suatu syarat mutlak yang tak bisa ditawar bagi advokat Indonesia. Tanpa tegaknya prinsip-prinsip dan nilai-nilai itu, percuma saja profesi advokat itu ada.
Kelima,membangun demokrasi.Demokrasi hanya bisa tegak dan berjalan kokoh jika ditunjang negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia. Sebab, tanpa hukum demokrasi akan berkembang menjadi anarki, di mana masyarakat akan berbuat semau-maunya dan setiap orang menjadi serigala bagi yang lainnya.
Sebaliknya, negara hukum tanpa demokrasi akan melahirkan negara penindas, di mana hukum semata-mata dijadikan alat atau instrumen kekuasaan, sebab hukum yang dibuat hanya akan berorientasi kepada kepentingan kekuasaan semata dan tidak lagi mencerminkan rasa keadilan yang menjadi aspirasi masyarakat. Maka itu sebagai pejuang, advokat harus senantiasa memperjuangkan demokrasi disamping perjuangan menegakkan negara hukum.
Mengingat Kembali Tujuan dan Perjuangan Mulia Advokat
Berdasarkan uraian di atas, maka tidak heran advokat disebut sebagai officium nobile atau profesi yang mulia. Sebab profesi ini lahir didasarkan pada semangat bantuan hukum (pro bono) kepada masyarakat kecil, lemah, buta hukum dan tertindas, semangat untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan kekuasaan/penguasa, semangat agar terciptanya negara hukum yang demokratis, juga tatanan hukum dan sosial yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu, latar belakang agama, status sosial dan lain sebagainya (kemanusiaan).
Oleh sebab itu mari kita jaga kemuliaan profesi advokat ini, mari kita selalu mengingat kembali apa yang menjadi tujuan dan perjuangan mulia advokat, dan tentu menghidupkannya dalam kerja-kerja advokasi kita.
Akhir kata saya ingin mengutip perkataan Todung Mulya Lubis dalam salah satu pidatonya di Ikadin: "Saya tidak mengatakan advokat tidak boleh menjadi kaya karena menjadi kaya bukanlah kejahatan. Being rich is not a crime. Adalah sah saja untuk menjadi kaya. Tetapi kita tak boleh melupakan tugas sejarah kita yaitu ikut membantu menegakkan keadilan bagi rakyat terutama rakyat kecil, kelompok marginal dan ‘the underrepresented’. Dari tubuh advokat harus menggema semangat untuk membongkar ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi".
*Boris Tampubolon, S.H. adalah Advokat, Kepala Divisi Non-Litigasi LBH Mawar Saron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar